Saturday, February 9, 2013

My Journey : First Step to Campus


It Was Really Heartbreaking…

Awal Januari 2012, aku dan teman-temanku sedang dalam masa amazing race buat menghadapi ujian nasional. Yap, kita semua merasakan gimana hectic-nya waktu itu. Ya, di Banat lagi, bukan main-main tingkat distressing nya. Pemadatan ditumplekin dalam satu melting pot yang pastinya menegangkan banget. Ujian udah kayak hidup dan mati, ya, begitulah kira-kira istilahnya.

Belum cukup memikirkan ujian, bayangan universitas mana yang dituju udah bikin satu pikiran lagi di kepala kita. Ya, aku sendiri heran, kenapa sih admission ke universitas-universitas itu musti awal banget, apa nggak memikirkan kita yang sedang pusing-pusing mikir ujian. Apalagi kita harus compete sama mereka-mereka yang di luar. Pastinya, semua mengidam2kan universitas-universitas yang kuotanya nggak sepadan dengan jumlah anak SMA yang akan lulus, apalagi semua seakan mengincar universitas-universitas ternama di negeri ini.

Yah, tapi biar bagaimanapun kita mau nggak mau harus tetep ikut rule nya mereka. Tapi, aku menyimpan niat lain. Cita-cita aku sejak SMP dulu. Dulu, aku begitu idealis, yah, bisa dikatakan seperti itu. Aku punya banyak teman, bukan dikatakan teman juga, namun hanya sekedar relasi. Mereka berasal dari beberapa SMA yang aku kenal lewat kompetisi-kompetisi yang aku ikuti di luar. Aku banyak mendengar mereka bisa menembus pintu gerbang MIT, UCLA, Columbia, Monash, dan beberapa universitas lain di Eropa. Hmm, bukan hal baru dan asing bagiku.

Namun, aku sadar, semua itu ada kemauan, kemampuan, dan satu lagi yang tak kalah penting, kesempatan. Aku hanya mengukur seberapa jauh levelku untuk mencapai itu. Aku pikir 2 poin awal sudah aku dapatkan, namun poin ketiga agaknya cukup sulit didapatkan di banat. Banat hampir tidak ada koneksi ke sana. Hardly any relations abroad, except middle east. Banyak alumni yang udah terbang ke yaman, juga mesir.
Hmm, tapi arahku bukan ke sana. Aku punya field sendiri yang perlu dikembangkan. Dan akhirnya, di awal maret (lagi padet2nya latihan buat ujian sebenarnya) aku dikasih tahu oleh salah seorang adik kelas bahwa ada scholarship buat studi di Jepang, pengumumannya ada di mading sekolah. Aku bener-bener surprised. Setengah nggak percaya, tapi aku coba lihat sendiri di mading. Dan bener, Aku baca sampe akhir tulisan itu, sedikit menghela nafas. Hmm, ini yg nyelenggarain dari pihak Pak Yo, pasti bukan main-main, yang berebut scholarship inipun pasti banyak. Aku langsung teringat temen2ku yang udah biasa megang medal olim itu, aku sempet berpikir, pastilah ya, anak-anak itu yg diprioritasin, no doubt.

Tapi, apa sih yang bikin aku jadi takut gini, toh, kesempatan cuman bakal jadi harapan sampai kamu menggunakannya. Ya, itu motivasiku pertama. Agak worry juga sih, berhubung tes-nya mepet banget.

Jadi, kita bisa menangin scholarship itu kalo bisa tembus sampe tahap 3 dan lolos. Program ini bernama Indonesian Leadership Award (ILA) yang diselenggaraka oleh LNI (Lembaga Nan-Unggul Indonesia –previously bernama Lembaga Nobel Indonesia) di bawah Surya Institute. Tahap pertama diadakan tes tertulis. Tahap kedua, interview dengan pihak penyelenggara dan tes IELTS (simulasi IELTS) dan membuat esai mengenai motivasi masuk ke universitas yang dituju. Tahap ketiga, interview dengan professor dari pihak univerisitas. Ada tiga univeristas yang ditawarkan, yaitu Nagoya University, Tohoku University, dan Kyoto University, dengan major semua dalam field sains.

Waktu itu, perjuangan pertama dimulai. First step of this amazing race J. Mulai dari download dan isi formulir, ngecek email tiap hari, registrasi, sampai akhirnya mengikuti tes tertulis yang diadakan pada tgl 12 Maret 2012 (kalo tidak salah). Waktu itu, aku harus sampe izin untuk tidak mengikuti Ujian Madrasah untuk satu hari (tau kan gimana pentingnya UM – setara dengan Ujian Sekolah kalo di SMA-SMA). Waktu itu, ada satu temen dari banat yang sama-sama ikut tes itu.

Tes tertulis itu sebenarnya mirip soal2 olim yang biasa dipake anak-anak di tingkat OSN, bisa dikatakan. Tes ini diadakan serempak di kota2 di beberapa provinsi di Indonesia yang menyelenggarakan tes untuk scholarship ini. Walau ada beberapa soal juga yang masuk dalam pelajaran di SMA, yang cukup bisa dikerjakan. Aku tidak terlalu optimis bisa mengerjakan semua soal, aku tidak memiliki banyak waktu untuk belajar hal-hal lain di luar  materi-materi yang bakal diujikan. Quite shock memang. Tapi aku coba kerjain sebaik-baiknya.

Finally, walaupun agak harap-harap cemas, berani juga buka pengumuman di website resminya LNI. And there’s something stuck in my throat, really wanna scream at my lung, haha. Namaku masuk list anak-anak yang maju tahap 2. Tapi waktu itu sedih juga tahu temenku belum berhasil.

Artinya, kompetisi ini akan semakin serius. But, show must go on. Kali ini, tempat tes tahap 2 diadakan di BSD City, Serpong, tepatnya di MAN Insan Cendekia. Ya, sekolah ini memang sudah biasa bekerja sama dengan pihak LNI dan kebetulan lokasinya cukup dekat dengan kantor pusat LNI.

Tes ke-dua bikin aku cukup untuk mencoba menaikkan level. Anak-anak gemilang itu sudah datang dan bersiap-siap berkompetisi. Anak-anak yang lolos ke tahap dua diundang untuk menginap di Wisma Incen untuk persiapan interview dan tes IELTS. Aku dapet kamar dengan 4 orang lainnya dari berbagai sekolah. Aku bareng Ana, Dewi, Naila, dan Ghaida. Mereka dari SMA N 2 Kediri, SMAN 10 Malang, dan SMA 3 Bandung.

Hari selanjutnya finally come. Kita udah direncanain buat english interview dengan pihak Official dari LNI. Diinterogasi sekitar 20 menit. Belum selesai, setelah itu, diadakan tes IELTS sebagai agenda keduanya. Berhubung ini baru  pertama kali, cukup memberiku pengalaman mengikuti tes di atas TOEFL yang nggak bisa dipungkiri cukup sulit materinya. Namun, aku percaya masih bisa dikerjakan, and eventually had it done, ya :D

Tes tahap kedua selesai. Aku pikir tes kedua nggak seburuk ketika aku mengerjakan tes pertama, haha, walaupu lolos juga. Recall it, interview nya cukup lancar dan kayaknya bisa memberikan sugesti positif kepada interviewernya that I deserve to grab the scholarship, haha. Tes IELTS nya juga di luar dugaan, mengerjakannya nggak sesulit membayangkannya kok.

Dorongan mental yang kuat membuat aku nggak begitu khawatir kali ini, walau pun nggak pasti juga aku bakal lolos lagi. Tapi Allah memberi harapan sekali lagi lewat tahap ketiga. Artinya, tahap kedua well-accomplished. Aku mengambil major Biological and Chemical Engineering di Nagoya University waktu itu.

Sampai di tahap ketiga, lebih sulit lagi tantangannya (yaa, namanya juga amazing race :). Tes tahap ketiga ini kita bakal diwawancarai sama professor dari universitasnya langsung. Wow, shocked right away. Waktu itu, wawancara diadakan lewat Skype, karena tidak semua professor nya sempat untuk datang ke Indonesia seperti tahun lalu.

Sebelum itu, jangan dikira jalannya mulus-mulus aja. Sebelum naik ke level 3, aku harus ngirimin berkas-berkas yang cukup ribet plus melelahkan dalam pengerjaannya. Belum minta izin ke kepala sekolah, berurusan dengan birokrasi madrasah yang cukup alot menurutku.

Dari mulai mentranslate manual grade report madrasah ke dalam bahasa inggris buat dikirim ke sana (jadi academic transcript yang “seolah-olah” resmi dari sekolah) walaupun sebenarnya sekolah nggak membantu dalam hal ini, semuanya in made of my own hand. Mandiri semandiri-mandirinya pokoknya, haha (salah siapa out of mainstream yah? :D). Terus berkali-kali fotocopy, legalin, fotocopy, ngerapiin semua sertifikat yang dibutuhkan, yang bisa dibayangkan hedon banget aku waktu itu. Terus membuat dua essay question, buat surat rekomendasi sendiri terus minta-minta buat diizinin dapet tandatangan guru dan pihak yang otoritas untuk itu, hectic banget buat ngisi scholarship application yang super ribet itu, sampai memanipulasi Card Identity ku yang asli atau KTP, jadi berbahasa inggris, bikin itu seolah-olah resmi, haha, entah gimana caranya sampe KTP ku bener2 jadi, dan hasilnya bagus, KTP bikinan sendiri printed in English version. Haha. semuanya manual, semua skill computer dan design aku mainin, totalitas beenr dah, :D. karena nggak ada yang ngebantuin plus kelamaan kalo pake penerjemah yang legal buat surat atau administrasi resmi, plus mahal, satu lembar bisa sampai ratusan ribu. Selain yang udah disebutin, ada juga buat bikin certificate of expected graduation, evaluation form, sama bikin CV yang bagus dan meyakinkan. Pertamanya, jujur, aku nggak tahu lagi mau ngomong apa, aku bingung bukan main, semua ini apa? Ngisinya gimana? Mau nanya pihak LNI? Kok kayaknya stupid banget ngurusin berkas2 sendiri aja nggak bisa. Mau nanya guru? Kayaknya nggak begitu tepat dan pastinya jarang yang mengerti kayak beginian. Mau nanya temen dr sekolah lain? Kurang detail juga L. Padahal dateline bukan Cuma mepet tapi bener2 udah super mepet. Belum lagi musti ngambil tes IELTS beneran (beda dengan simulasi sebelumnya ) buat hasilnya dikirim ke pihak LNI (waktu itu, aku ambil tes IELTS-nya di IDP Semarang –mereka mintanya memang IELTS bukan TOEFL). Sampe akhirnya nggak kuat, aku nggak bisa nahan air mata, dan ketahuan salah seorang guru BK, dan beliau pun mendukungku 100%, (yeah, dapet sponsor juga, haha :D), dan beliau juga yang membuat akselerasi birokrasi di madrasah bisa fix dan nggak nyusahin aku kalo tandatangan segala macem jadi alot. Semuanya jadi cepet dan akhirnya bisa ngirim pas dateline itu. (ribetnya, di tengah-tengah keteganganku ngadepin try out – try out, tapi akhirnya selesai juga :)

Akhirnya semua berkas jadi (sampe bingung udah berapa kali aku ngecek) dan dikirim lewat pos ke pihak LNI, karena ada beberapa berkas yang belum ada, jadi terpaksa sisa berkas yang required buat admission ke Nagoya University-nya, harus dikirim sendiri (yah, by me) ke Jepang langsung, lewat fedex tentunya. Yah, Capek dan Ribet. Tapi itulah rule permainannya.

Dan, ternyata, Jepang bukan jadi tempatku. Cukup shock juga, haha. Sebelum wawancara, aku nggak lolos di screening berkas, gara-gara satu, total nilai IELTS ku (band score) 5,5 dan hanya kurang 0,5 dari minimum required bandscore yang ditetapkan untuk bisa masuk di Nagoya (minimum bandscore 6,0). Automatically, aku nggak bisa lanjut interview-nya. So, it lose. Otomatis, amazing race-ku hanya sampai di sini.

Perjalanan Baru Dimulai

Nah, yang membuat aku merasa tenang, entah kenapa aku sama sekali nggak kecewa atau sedih akibat belum bisa jadi mahasiswa di NU (Nagoya Univ), walaupun sempet surprised banget begitu membaca email ketidaklolosan itu, tapi itu cuman sebentar. Justru aku merasa relieve banget setelah itu. Kini, giliranku menapaki jejak masuk universitas dalam negeri. Mungkin akibat sedikit trauma sih, haha. Tapi tidak juga.

So, the next journey had come. SNMPTN undangan aku nggak lolos. Mau tau kenapa? Karena memang nggak masuk, :D. Begini kronologinya. Aku ambil pilihan pertama HI UI (Tau sendiri kan, persaingannya bagai lubang jarum), pilihan kedua, FK UGM (Sama ketatnya). Entah kenapa, apa yg ada dipikiran aku sampai lupa melampirkan dan upload data scan sertifikat sebagai data pendukung selain nilai2 raport waktu itu. Padahal udah ada 31 sertifikat yang udah aku persiapin. Walhasil, akhirnya ditolak deh pas liat pengumuman. Haha, apalgi aku milihnya cross banget sih, anak IPA milih HI-nya UI yg secara berhaluan sosial, tanpa data pendukung lagi. So sad actually.

Nah, lebih bad luck lagi. Aku juga nggak ikut SNMPTN tertulis. Why again?
Karena ya itu tadi, aku lagi hectic-hecticnya nyiapin segala keperluan buat admission dan enrollment ke Nagoya, jadi nggak sempet deh (haha, sok banget sih lo :D). Sebenarnya bukan karena itu alasan utamanya. Tetapi memang karena kesibukan dan fokus ku sedang untuk yang di luar negeri, jadi agak kurang informed mengenai masalah kompetisi jalur masuk univ dalam negeri. Yang aku tau, hanya ada SNMPTN undangan dan ujian mandiri. Aku baru tau ada SNMPTN tertulis pada hari tes itu diselenggarakan dan pada ahri itu juga aku mendapat email bahwa Nagoya-ku gagal. Poor this girl L

Oh ya, sebelumnya, aku juga sudah lolos administrasi dan sudah mendapat kartu tes untuk dapat mengikuti tes beasiswa satri berprestasi dr kemenag (namanya PBSB),namun mengingat konsuensi jika lolos tes adalah tidak boleh dicabut bahkan sekolah akan diblacklist, maka aku putuskan dengan penuh dilematis untuk tidak mengikuti tes itu. Mengingat, progresku sudah sedemikian rupa di LNI dan seandainya bisa berhasil, dan jika PBSB juga dilakukan dan juga seandainya bisa masuk, maka sangat sayang jika harus merelakan beasiswa dari LNI karena mematuhi konsekuensi PBSB itu. Waktu itu aku berkeyakinan, tanpa aku ikut, akan bisa memberikan sedikit peluang lebih bagi teman-teman yang lain untuk bisa lolos PBSB, entah berapapun presentasinya.

Walhasil, sudah bisa ditebak apa satu2nya harapan terakhirku. Ya, UM. SNMPTN Undangan out, tertulis, I don’t even know that :D, PBSB, mengundurkan diri, Japan, really lose. Mulai saat itu, satu-satu nya pekerjaanku adalah browsing segiat-giatnya. Aku bagai orang yang berusaha mengais harapan terakhir dari UM. Ya, UM adalah jalan terakhir bagi orang-orang yang gagal (kata-katanya sadis banget ya :D). Waktu itu aku berpikir, mana mana lah, yang penting universitas negeri, (tapi jangan jelek-jelek juga :D). Waktu itu, walaupun begitu, aku masih memiliki idealisme itu. I think I should deserve more. Aku coba registrasi universitas yang cukup terpandang yang masih membuka UM. Aku tau UGM tidak mungkin, ITB juga tidak, IPB sedikit peluang, mendaftar UM Undip, IUP UGM (International Undergraduae Program, bukan yang reguler) bahkan aku sempat mencoba untuk mengikuti admission di unievrsitas swasta, namun tidak begitu tertarik akhirnya.

Hingga akhirnya, di monitor laptopku tertera tulisan SIMAK-UI. Aku pelajari lebih lanjut mengenai hal itu. SIMAK-UI merupakan ujian masuk UI, sifatnya bukan UM, seperti SNMPTN tertulis namun hanya dilaksanakan di UI, namun tetap saja bobot soalnya lebih tinggi dan lebih sulit dari SNMPTN
tertulis.

Aku mengikuti tes SIMAK tanggal 8 Juli 2012 di SMAN 9 Surabaya. Sebelumnya aku memilih mengikuti tes yang diselenggrakan di Jogja, namun kuota penuh, karena aku mengisi formulir pendaftaran itu di hari terakhir SIMAK UI dibuka, jadi lokasi terdekat yang masih memungkinkan adalah di Surabaya.

Jauh-jauh ke Surabaya, aku menginap di tempat saudara satu malam. Aku googling di internet, untuk mendownload soal2 SIMAK tahun lalu. Dan aku hanya belajar untuk itu 1 hari sebelum tes dilaksanakan. Sebelumnya, aku belum pernah les atau belajar soal-soal SIMAK yang ternyata cukup memutar otakku cukup keras itu. Out of the box banget soal-soalnya. Sementara aku tanya yang lain, mereka sudah belajar soal-soal SIMAK dari jauh-jauh hari, bahkan berbulan-bulan. Waktu itu, aku memilih jurusan Pendidikan Kedokteran sebagai pilihan pertama dan Biologi untuk pilihan kedua.

Namun, akhirnya, di FKUI lah aku lolos dan diterima. Bukan NU, bukan UGM, bukan manapun. Aku menaruh harapan di UI, cukup ideal. Walaupun dulu agak singkat aku mengenal UI dan berharap bisa belajar di kampus dengan jas kuning ini.

Tapi, nggak sampai di situ, perjuangan belum berakhir kawan. Aku masih ditetapkan sebagai CALON mahasiswa, belum menjadi mahasiswa. Nah, gimana biar bisa resmi diterima sebagai mahasiswa? Ya, registrasi atau daftar ulang. Nah, di situlah kendalanya. Sebelum registrasi ulang, mahasiswa harus membayar uang pangkal dan uang semester I yang totalnya cukup lumayan. Untunglah FKUI menggunakan mekanisme BOP Berkeadilan dengan syarat mahasiswa harus melampirkan berkas-berkas yang dibutuhkan, sehingga biaya masuk dapat lebih ringan. Dan yang bikin aku cukup ngos-ngosan, dateline pengumpulan berkas-berkas itu super mepet dengan waktu pengumuman lolosnya calon mahasiswa. Jadi, ribet dan bener-bener kerasa perjuangannya di sini, karena harus melampirkan hal-hal yang berkaitan dengan keuangan dan perlu berhubungan dengan otoritas tempat kita tinggal sebagai data resmi.
Karena mepetnya dateline pengumpulan, akhirnya aku putuskan untuk langsung mengantarkan berkas-berkas yang dibutuhkan ke kampus UI Pusat di Depok, karena jika dikirimkan lewat pos atau titipan kilat, sampai di UI-nya bakal kelewat dateline. Aku beranikan diri ke Depok dengan salah satu saudara, walaupun kita berdua belum tau dan belum pernah menginjakkan kaki di UI Depok. Namun, kuasa-Nya lah yang akhirnya memberhasilkan kita sampai di sana. Beberapa hari kemudian, berkas disetujui dan biaya masuk dapat diringankan.

Satu minggu kemudian, aku kembali ke depok untuk registrasi ulang dan akhirnya aku resmi menjadi mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. J

Credit : Nela Lutfiana

Thursday, Jan 31, 2013
  






No comments:

Post a Comment