Nadia membereskan barang-barangnya yang berserakan di meja tulis. Buku tulis, buku paket, bolpoin, pensil…, hmm…apa lagi, ya? Nadia melongok ke laci mejanya. Kosong. Berarti tak ada lagi yang tertinggal.
Uhuy…! Ini prestasi istimewa mengingat seringnya Nadia kehilangan barang, terutama alat tulis.
“Naad…,”panggil Tita. Dari ujung kelas, Tita bergegas menghampiri Nadia.
“Kenapa, Ta”?
“Nanti kita ke Walisongo, ‘kan?”
Nadia menepuk dahinya. Alat tulis dan semua peralatan sekolah memang tak ada yang terlupa. Tapi janji?
“Jadi?”, Tanya Tita.
“Aduuuh sori, Ta..,” keluh Nadia. “Aku lupa kalau kita mau ke Walisongo siang ini…Aku terlanjur bilang sama mama kalau hari ini aku nggak ada acara lagi sepulang sekolah…Jadi aku janji mau langsung pulang ke rumah karena hari ini Michiko datang….”
Tita berusaha menangkap penjelasan Nadia yang disampaikan dalam satu tarikan nafas itu. “Michiko itu siapa?” tanya Tita, memutuskan tak akan mengomentari sifat pelupa Nadia.
“Michiko itu anak temannya Mama”
“Kok namanya nama Jepang?’” Tanya Tita lagi.
“Papanya Michiko itu memang orang Jepang asli. Kalau mamanya orang sini. Teman Mama waktu kuliah di Unpad dulu. Sekarang mereka tinggal di Jepang. Di Kyoto,”
“Sekarang dia mau ke sini?”
“Iya, liburan”
***
Michiko Putri Matsuyama.
Nadia sudah pernah melihat Michiko dalam foto yang dikirimkan Tante Susie pada mama. Cantik. Lain dengan Michiko kecil yang pernah Nadia kenal ketika masih TK dulu.
Tetapi, tetap saja Michiko sama sekali tak mirip dengan gambar-gambar yang ada dalam komik Jepang. Mata Michiko tak selebar tokoh komik. Mata Michiko biasa saja. Kata mama, mirip dengan mata Tante Susie. Rambut hitam. Warna kulit mengikuti papanya. Tinggi badan standar.
Dilihat sepintas, Michiko tak berbeda dengan gadis-gadis Indonesia. Kalau dia buka mulut untuk berbicara, baru terasa perbedaannya.
Untungnya, Michiko bisa berbahasa Indonesia. Salah satu alasannya kedatangannya ke Jakarta juga untuk memperlancar kemampuan berbahasa Indonesianya.
Michiko dua tahun lebih muda daripada Nadia. Michiko juga tidak manja, jadi tak perlu selalu diantar-antar ke sana kemari. Tapi, mama menginginkan Nadia lebih banyak berada di rumah agar dapat menemani Michiko.
Hari ini adalah hari Minggu. Hari ketiga Michiko berada di Jakarta.
“Naaad… pakai mobil saja,” kata mama.
“Bus aja, Ma,” kata Nadia.
Ia berpaling pada Michiko.
“You wanna go by our own car or bus?”
“Bus,” sahut Michiko.
Nadia tersenyum. “Tuh, Ma. Michiko aja pengen naik bus. Udah gitu, nanti nyoba naik bajaj, deh. Mumpung bajaj belum dihapuskan dari peta Jakarta, Ma…”
Apapun kata Nadia dan Michiko, mama tetap bersikeras agar mereka membawa mobil saja. Alasan mama tentu saja, keamanan. Banyaknya warga negara asing yang menjadi kroban kejahatan di Jakarta membuat mama tak mau mengambil risiko terjadi sesuatu pada Michiko.
***
Michiko berdecak kagum ketika melihat Masjid Istiqlal. “Bagus sekali! Besaaar… Di Jepang tak ada masjid sebesar ini…”
“Di sini ‘kan umat Islam jumlahnya banyak sekali, Michiko. Jadi wajar saja kalau masjidnya besar-besar,” kata Nadia.
“Pasti banyak jamaah yang bisa masuk ke dalamnya, ya?”
“Nadia mengangguk. “Tapi nggak selalu penuh, sih.”
Michiko menoleh, menatap heran pada Nadia. “Masjid sebesar ini? Are you kidding?”
Nadia menggeleng. “Di Jakarta ini banyak masjid. Yang besar banyak, yang lebih kecil lebih banyak lagi. Tapi hampir semua masjid hanya ramai pada hari-hari tertentu. Jum’at, misalnya. Di hari lain, orang lebih suka shalat di rumah, di kantor, di mana-mana…,” jelas Nadia.
Michiko termenung. “Aneh…,” gumamnya.
“Kenapa?”
“Bukankah shalat berjamaah di masjid lebih besar pahalanya?”, Tanya Michiko. “Di Kyoto, aku selalu ingin bisa shalat berjama’ah di masjid. Tapi mencari masjid di sana tak semudah di sini.”
Nadia tersenyum setengah meringis mendengar kata-kata Michiko itu.
Setelah shalat dzuhur, sedan hitam yang dipinjamkan mama pada Nadia itu kembali meluncur di jalan raya, menyusuri jalan-jalan Jakarta tanpa tujuan jelas. Michiko tak mau ke mal, town square, atau sejenisnya. Kata Michiko, itu kurang menarik.
Dari dalam mobil, Nadia menunjukkan sisi-sisi kehidupan Jakarta. Kereta api Jabodetabek yang mungkin merupakan nenek moyang shinkansen di Jepang. Pasar-pasar tradisional yang hampir semuanya tumpah ke jalan. Manusia segala umur yang mengais rezeki di lapu merah…
Nadia juga mengajak Michiko ke Walisongo, tempat Nadia sering mnegikuti pengajiann pekanan, makan di kaki lima blok S, meneropong Jakarta dari puncak Monas… Menunjukkan semua hal yang ingin diketahui Michiko.
“Kalau di Bandung…apakah banyak yang bisa dilihat?” Tanya Michiko. Esok siang Michiko akan berangkat ke Bandung untuk menemui keluarga besar ibunya.
“Ya,” angguk Nadia.
“Apakah sama seperti di Jakarta?”
“Apanya?” Tanya Nadia.
“Keadaannya. Macet, sampah di mana-mana, masjid-masjid yang sepi, anak kecil yang megemis…,” ujar Michiko.
Nadia berpikir sejenak. “Michiko, yang seperti itu ada di mana-mana. Nggak cuma di Indonesia.”
“Tapi ini ‘kan negara dengan umat Islam terbanyak di dunia,” sergah Michiko. “Seharusnya bisa menjadi yang terbaik.”
“Indonesia tidak seburuk yang kamu kira, Michiko!” protes Nadia.
Michiko tersenyum manis. “Sorry, Nadia. I’m just… hm… disappointed…”
“Why?”
“I learn Islam from my mom and Islamic center… yang saya tahu, Islam mengajarkan keindahan. Islam menyuruh pemeluknya untuk belajar dan belajar, untuk bersikap jujur, untuk menjaga kebersihan, untuk membayar zakat, mendirikan shalat… Kamu juga belajar itu, Nadia?”
“Tapi kenapa semua itu tidak ada di sini, Nadia?”
“Pardon?” Tanya Nadia bingung.
Michiko berpaling menatap Nadia. “Mengapa Indonesia malah dikenal sebagai negeri yang corruptsementara Islam mengajarkan kejujuran? Mengapa sampah menumpuk di mana-mana padahal Rasulullah mengatakan kebersihan itu sebagian dari iman? Apakah pedagang-pedagang itu, apakah penduduk di tempat-tempat yang kita lewati tadi bukan beragama Islam? Mengapa masjid-masjid selalu sepi? Mengapa masih banyak anak-anak dan orang tua yang berkeliaran di jalanan…? Itu ‘kan tidak perlu terjadi kalau mekanisme zakat berjalan dengan baik. Mengapa tidak ada baitul mal seperti pada zaman Rasulullah dulu? Mengapa…”
Nadia terdiam mendengarkan berondongan pertanyaan Michiko.
“…saya senang melihat kamu berjilbab, Nadia. Saya sendiri baru belajar mengenakan jilbab,” ujar Michiko dengan nada suara yang lebih tenang. “Tapi maaf, Nadia. Mengapa di tempat yang banyak umat Islamnya seperti ini, majalah Playboy mendapat izin untuk terbit? No… not only Playboy… tadi saya juga lihat banyak majalah yang… hmm… so sexy… Bukankah kita harus menjaga aurat kita? Menjaga pandangan kita?”
Nadia menghela nafas. Kata-kata Michiko tadi di luar dugaannya. Ternyata gadis Jepang itu sangat kritis. Mungkin memang seperti itu tipikal orang yang menemukan Islam melalui sebuah proses pencarian dan bukan melalui pewarisan turun-temurun.
“Tidak inginkah kamu melakukan sesuatu, Nadia?” Tanya Michiko. “Tidakkah kamu ingin melihat umat Islam maju?”
“Ingin? Pastilah. Tapi apa, Michiko? Aku tuh cuma anak SMU. Bisa apa?”
Michiko tersenyum. “Kemauannya ‘kan sudah ada, Nadia…”
Nadia melirik Michiko, tetapi yang dilirik tidak meneruskan kata-katanya. Nadia mengembalikan tatapannya pada jalan raya di depannya. Mencoba merenungi semua yang dikatakan Michiko.
Nadia sadar, apa yang dikatakan Michiko itu benar. Tapi Nadia juga tahu, tak mudah mengubah sesuatu yang telah berurat akar.
“Besok saya berangkat ke Bandung,” kata Michiko.
‘’Dari Bandung, kamu ke rumahku lagi, ‘kan?”
“Insya Allah.”
Nadia tersenyum.
Apa lagi yang akan dikatakan Michiko nanti?
***
My Room, 12/23/2013. 1:05 AM
No comments:
Post a Comment