It
Was Really Heartbreaking…
Awal
Januari 2012, aku dan teman-temanku sedang dalam masa amazing race buat
menghadapi ujian nasional. Yap, kita semua merasakan gimana hectic-nya waktu
itu. Ya, di Banat lagi, bukan main-main tingkat distressing nya. Pemadatan
ditumplekin dalam satu melting pot yang pastinya menegangkan banget. Ujian udah
kayak hidup dan mati, ya, begitulah kira-kira istilahnya.
Belum
cukup memikirkan ujian, bayangan universitas mana yang dituju udah bikin satu
pikiran lagi di kepala kita. Ya, aku sendiri heran, kenapa sih admission ke
universitas-universitas itu musti awal banget, apa nggak memikirkan kita yang
sedang pusing-pusing mikir ujian. Apalagi kita harus compete sama mereka-mereka
yang di luar. Pastinya, semua mengidam2kan universitas-universitas yang
kuotanya nggak sepadan dengan jumlah anak SMA yang akan lulus, apalagi semua
seakan mengincar universitas-universitas ternama di negeri ini.
Yah,
tapi biar bagaimanapun kita mau nggak mau harus tetep ikut rule nya mereka.
Tapi, aku menyimpan niat lain. Cita-cita aku sejak SMP dulu. Dulu, aku begitu
idealis, yah, bisa dikatakan seperti itu. Aku punya banyak teman, bukan
dikatakan teman juga, namun hanya sekedar relasi. Mereka berasal dari beberapa
SMA yang aku kenal lewat kompetisi-kompetisi yang aku ikuti di luar. Aku banyak
mendengar mereka bisa menembus pintu gerbang MIT, UCLA, Columbia, Monash, dan
beberapa universitas lain di Eropa. Hmm, bukan hal baru dan asing bagiku.
Namun,
aku sadar, semua itu ada kemauan, kemampuan, dan satu lagi yang tak kalah
penting, kesempatan. Aku hanya mengukur seberapa jauh levelku untuk mencapai
itu. Aku pikir 2 poin awal sudah aku dapatkan, namun poin ketiga agaknya cukup
sulit didapatkan di banat. Banat hampir tidak ada koneksi ke sana. Hardly any
relations abroad, except middle east. Banyak alumni yang udah terbang ke yaman,
juga mesir.
Hmm,
tapi arahku bukan ke sana. Aku punya field sendiri yang perlu dikembangkan. Dan
akhirnya, di awal maret (lagi padet2nya latihan buat ujian sebenarnya) aku
dikasih tahu oleh salah seorang adik kelas bahwa ada scholarship buat studi di
Jepang, pengumumannya ada di mading sekolah. Aku bener-bener surprised.
Setengah nggak percaya, tapi aku coba lihat sendiri di mading. Dan bener, Aku
baca sampe akhir tulisan itu, sedikit menghela nafas. Hmm, ini yg nyelenggarain
dari pihak Pak Yo, pasti bukan main-main, yang berebut scholarship inipun pasti
banyak. Aku langsung teringat temen2ku yang udah biasa megang medal olim itu,
aku sempet berpikir, pastilah ya, anak-anak itu yg diprioritasin, no doubt.
Tapi,
apa sih yang bikin aku jadi takut gini, toh, kesempatan cuman bakal jadi
harapan sampai kamu menggunakannya. Ya, itu motivasiku pertama. Agak worry juga
sih, berhubung tes-nya mepet banget.
Jadi,
kita bisa menangin scholarship itu kalo bisa tembus sampe tahap 3 dan lolos. Program
ini bernama Indonesian Leadership Award (ILA) yang diselenggaraka oleh LNI
(Lembaga Nan-Unggul Indonesia –previously bernama Lembaga Nobel Indonesia) di
bawah Surya Institute. Tahap pertama diadakan tes tertulis. Tahap kedua,
interview dengan pihak penyelenggara dan tes IELTS (simulasi IELTS) dan membuat
esai mengenai motivasi masuk ke universitas yang dituju. Tahap ketiga,
interview dengan professor dari pihak univerisitas. Ada tiga univeristas yang
ditawarkan, yaitu Nagoya University, Tohoku University, dan Kyoto University,
dengan major semua dalam field sains.
Waktu
itu, perjuangan pertama dimulai. First step of this amazing race J. Mulai dari download
dan isi formulir, ngecek email tiap hari, registrasi, sampai akhirnya mengikuti
tes tertulis yang diadakan pada tgl 12 Maret 2012 (kalo tidak salah). Waktu
itu, aku harus sampe izin untuk tidak mengikuti Ujian Madrasah untuk satu hari
(tau kan gimana pentingnya UM – setara dengan Ujian Sekolah kalo di SMA-SMA).
Waktu itu, ada satu temen dari banat yang sama-sama ikut tes itu.
Tes
tertulis itu sebenarnya mirip soal2 olim yang biasa dipake anak-anak di tingkat
OSN, bisa dikatakan. Tes ini diadakan serempak di kota2 di beberapa provinsi di
Indonesia yang menyelenggarakan tes untuk scholarship ini. Walau ada beberapa
soal juga yang masuk dalam pelajaran di SMA, yang cukup bisa dikerjakan. Aku
tidak terlalu optimis bisa mengerjakan semua soal, aku tidak memiliki banyak
waktu untuk belajar hal-hal lain di luar
materi-materi yang bakal diujikan. Quite shock memang. Tapi aku coba
kerjain sebaik-baiknya.
Finally,
walaupun agak harap-harap cemas, berani juga buka pengumuman di website
resminya LNI. And there’s something stuck in my throat, really wanna scream at
my lung, haha. Namaku masuk list anak-anak yang maju tahap 2. Tapi waktu itu
sedih juga tahu temenku belum berhasil.
Artinya,
kompetisi ini akan semakin serius. But, show must go on. Kali ini, tempat tes
tahap 2 diadakan di BSD City, Serpong, tepatnya di MAN Insan Cendekia. Ya, sekolah
ini memang sudah biasa bekerja sama dengan pihak LNI dan kebetulan lokasinya
cukup dekat dengan kantor pusat LNI.
Tes
ke-dua bikin aku cukup untuk mencoba menaikkan level. Anak-anak gemilang itu
sudah datang dan bersiap-siap berkompetisi. Anak-anak yang lolos ke tahap dua
diundang untuk menginap di Wisma Incen untuk persiapan interview dan tes IELTS.
Aku dapet kamar dengan 4 orang lainnya dari berbagai sekolah. Aku bareng Ana,
Dewi, Naila, dan Ghaida. Mereka dari SMA N 2 Kediri, SMAN 10 Malang, dan SMA 3
Bandung.
Hari
selanjutnya finally come. Kita udah direncanain buat english interview dengan
pihak Official dari LNI. Diinterogasi sekitar 20 menit. Belum selesai, setelah
itu, diadakan tes IELTS sebagai agenda keduanya. Berhubung ini baru pertama kali, cukup memberiku pengalaman
mengikuti tes di atas TOEFL yang nggak bisa dipungkiri cukup sulit materinya.
Namun, aku percaya masih bisa dikerjakan, and eventually had it done, ya :D
Tes
tahap kedua selesai. Aku pikir tes kedua nggak seburuk ketika aku mengerjakan
tes pertama, haha, walaupu lolos juga. Recall it, interview nya cukup lancar
dan kayaknya bisa memberikan sugesti positif kepada interviewernya that I
deserve to grab the scholarship, haha. Tes IELTS nya juga di luar dugaan,
mengerjakannya nggak sesulit membayangkannya kok.
Dorongan
mental yang kuat membuat aku nggak begitu khawatir kali ini, walau pun nggak
pasti juga aku bakal lolos lagi. Tapi Allah memberi harapan sekali lagi lewat
tahap ketiga. Artinya, tahap kedua well-accomplished. Aku mengambil major
Biological and Chemical Engineering di Nagoya University waktu itu.
Sampai
di tahap ketiga, lebih sulit lagi tantangannya (yaa, namanya juga amazing race
:). Tes tahap ketiga ini kita bakal diwawancarai sama professor dari
universitasnya langsung. Wow, shocked right away. Waktu itu, wawancara diadakan
lewat Skype, karena tidak semua professor nya sempat untuk datang ke Indonesia
seperti tahun lalu.
Sebelum
itu, jangan dikira jalannya mulus-mulus aja. Sebelum naik ke level 3, aku harus
ngirimin berkas-berkas yang cukup ribet plus melelahkan dalam pengerjaannya.
Belum minta izin ke kepala sekolah, berurusan dengan birokrasi madrasah yang
cukup alot menurutku.
Dari
mulai mentranslate manual grade report madrasah ke dalam bahasa inggris buat
dikirim ke sana (jadi academic transcript yang “seolah-olah” resmi dari
sekolah) walaupun sebenarnya sekolah nggak membantu dalam hal ini, semuanya in
made of my own hand. Mandiri semandiri-mandirinya pokoknya, haha (salah siapa
out of mainstream yah? :D). Terus berkali-kali fotocopy, legalin, fotocopy,
ngerapiin semua sertifikat yang dibutuhkan, yang bisa dibayangkan hedon banget
aku waktu itu. Terus membuat dua essay question, buat surat rekomendasi sendiri
terus minta-minta buat diizinin dapet tandatangan guru dan pihak yang otoritas
untuk itu, hectic banget buat ngisi scholarship application yang super ribet
itu, sampai memanipulasi Card Identity ku yang asli atau KTP, jadi berbahasa
inggris, bikin itu seolah-olah resmi, haha, entah gimana caranya sampe KTP ku
bener2 jadi, dan hasilnya bagus, KTP bikinan sendiri printed in English
version. Haha. semuanya manual, semua skill computer dan design aku mainin,
totalitas beenr dah, :D. karena nggak ada yang ngebantuin plus kelamaan kalo
pake penerjemah yang legal buat surat atau administrasi resmi, plus mahal, satu
lembar bisa sampai ratusan ribu. Selain yang udah disebutin, ada juga buat
bikin certificate of expected graduation, evaluation form, sama bikin CV yang
bagus dan meyakinkan. Pertamanya, jujur, aku nggak tahu lagi mau ngomong apa,
aku bingung bukan main, semua ini apa? Ngisinya gimana? Mau nanya pihak LNI?
Kok kayaknya stupid banget ngurusin berkas2 sendiri aja nggak bisa. Mau nanya
guru? Kayaknya nggak begitu tepat dan pastinya jarang yang mengerti kayak
beginian. Mau nanya temen dr sekolah lain? Kurang detail juga L. Padahal dateline
bukan Cuma mepet tapi bener2 udah super mepet. Belum lagi musti ngambil tes
IELTS beneran (beda dengan simulasi sebelumnya ) buat hasilnya dikirim ke pihak
LNI (waktu itu, aku ambil tes IELTS-nya di IDP Semarang –mereka mintanya memang
IELTS bukan TOEFL). Sampe akhirnya nggak kuat, aku nggak bisa nahan air mata,
dan ketahuan salah seorang guru BK, dan beliau pun mendukungku 100%, (yeah,
dapet sponsor juga, haha :D), dan beliau juga yang membuat akselerasi birokrasi
di madrasah bisa fix dan nggak nyusahin aku kalo tandatangan segala macem jadi
alot. Semuanya jadi cepet dan akhirnya bisa ngirim pas dateline itu. (ribetnya,
di tengah-tengah keteganganku ngadepin try out – try out, tapi akhirnya selesai
juga :)
Akhirnya
semua berkas jadi (sampe bingung udah berapa kali aku ngecek) dan dikirim lewat
pos ke pihak LNI, karena ada beberapa berkas yang belum ada, jadi terpaksa sisa
berkas yang required buat admission ke Nagoya University-nya, harus dikirim sendiri
(yah, by me) ke Jepang langsung, lewat fedex tentunya. Yah, Capek dan Ribet.
Tapi itulah rule permainannya.
Dan,
ternyata, Jepang bukan jadi tempatku. Cukup shock juga, haha. Sebelum
wawancara, aku nggak lolos di screening berkas, gara-gara satu, total nilai
IELTS ku (band score) 5,5 dan hanya kurang 0,5 dari minimum required bandscore
yang ditetapkan untuk bisa masuk di Nagoya (minimum bandscore 6,0).
Automatically, aku nggak bisa lanjut interview-nya. So, it lose. Otomatis,
amazing race-ku hanya sampai di sini.
Perjalanan
Baru Dimulai
Nah,
yang membuat aku merasa tenang, entah kenapa aku sama sekali nggak kecewa atau
sedih akibat belum bisa jadi mahasiswa di NU (Nagoya Univ), walaupun sempet
surprised banget begitu membaca email ketidaklolosan itu, tapi itu cuman
sebentar. Justru aku merasa relieve banget setelah itu. Kini, giliranku
menapaki jejak masuk universitas dalam negeri. Mungkin akibat sedikit trauma
sih, haha. Tapi tidak juga.
So,
the next journey had come. SNMPTN undangan aku nggak lolos. Mau tau kenapa?
Karena memang nggak masuk, :D. Begini kronologinya. Aku ambil pilihan pertama
HI UI (Tau sendiri kan, persaingannya bagai lubang jarum), pilihan kedua, FK
UGM (Sama ketatnya). Entah kenapa, apa yg ada dipikiran aku sampai lupa melampirkan
dan upload data scan sertifikat sebagai data pendukung selain nilai2 raport
waktu itu. Padahal udah ada 31 sertifikat yang udah aku persiapin. Walhasil,
akhirnya ditolak deh pas liat pengumuman. Haha, apalgi aku milihnya cross
banget sih, anak IPA milih HI-nya UI yg secara berhaluan sosial, tanpa data
pendukung lagi. So sad actually.
Nah,
lebih bad luck lagi. Aku juga nggak ikut SNMPTN tertulis. Why again?
Karena
ya itu tadi, aku lagi hectic-hecticnya nyiapin segala keperluan buat admission
dan enrollment ke Nagoya, jadi nggak sempet deh (haha, sok banget sih lo :D).
Sebenarnya bukan karena itu alasan utamanya. Tetapi memang karena kesibukan dan
fokus ku sedang untuk yang di luar negeri, jadi agak kurang informed mengenai
masalah kompetisi jalur masuk univ dalam negeri. Yang aku tau, hanya ada SNMPTN
undangan dan ujian mandiri. Aku baru tau ada SNMPTN tertulis pada hari tes itu
diselenggarakan dan pada ahri itu juga aku mendapat email bahwa Nagoya-ku
gagal. Poor this girl L
Oh
ya, sebelumnya, aku juga sudah lolos administrasi dan sudah mendapat kartu tes
untuk dapat mengikuti tes beasiswa satri berprestasi dr kemenag (namanya
PBSB),namun mengingat konsuensi jika lolos tes adalah tidak boleh dicabut
bahkan sekolah akan diblacklist, maka aku putuskan dengan penuh dilematis untuk
tidak mengikuti tes itu. Mengingat, progresku sudah sedemikian rupa di LNI dan
seandainya bisa berhasil, dan jika PBSB juga dilakukan dan juga seandainya bisa
masuk, maka sangat sayang jika harus merelakan beasiswa dari LNI karena mematuhi
konsekuensi PBSB itu. Waktu itu aku berkeyakinan, tanpa aku ikut, akan bisa
memberikan sedikit peluang lebih bagi teman-teman yang lain untuk bisa lolos
PBSB, entah berapapun presentasinya.
Walhasil,
sudah bisa ditebak apa satu2nya harapan terakhirku. Ya, UM. SNMPTN Undangan
out, tertulis, I don’t even know that :D, PBSB, mengundurkan diri, Japan,
really lose. Mulai saat itu, satu-satu nya pekerjaanku adalah browsing
segiat-giatnya. Aku bagai orang yang berusaha mengais harapan terakhir dari UM.
Ya, UM adalah jalan terakhir bagi orang-orang yang gagal (kata-katanya sadis
banget ya :D). Waktu itu aku berpikir, mana mana lah, yang penting universitas
negeri, (tapi jangan jelek-jelek juga :D). Waktu itu, walaupun begitu, aku
masih memiliki idealisme itu. I think I should deserve more. Aku coba
registrasi universitas yang cukup terpandang yang masih membuka UM. Aku tau UGM
tidak mungkin, ITB juga tidak, IPB sedikit peluang, mendaftar UM Undip, IUP UGM
(International Undergraduae Program, bukan yang reguler) bahkan aku sempat
mencoba untuk mengikuti admission di unievrsitas swasta, namun tidak begitu
tertarik akhirnya.
Hingga
akhirnya, di monitor laptopku tertera tulisan SIMAK-UI. Aku pelajari lebih
lanjut mengenai hal itu. SIMAK-UI merupakan ujian masuk UI, sifatnya bukan UM,
seperti SNMPTN tertulis namun hanya dilaksanakan di UI, namun tetap saja bobot
soalnya lebih tinggi dan lebih sulit dari SNMPTN
tertulis.
Aku
mengikuti tes SIMAK tanggal 8 Juli 2012 di SMAN 9 Surabaya. Sebelumnya aku
memilih mengikuti tes yang diselenggrakan di Jogja, namun kuota penuh, karena
aku mengisi formulir pendaftaran itu di hari terakhir SIMAK UI dibuka, jadi
lokasi terdekat yang masih memungkinkan adalah di Surabaya.
Jauh-jauh
ke Surabaya, aku menginap di tempat saudara satu malam. Aku googling di
internet, untuk mendownload soal2 SIMAK tahun lalu. Dan aku hanya belajar untuk
itu 1 hari sebelum tes dilaksanakan. Sebelumnya, aku belum pernah les atau
belajar soal-soal SIMAK yang ternyata cukup memutar otakku cukup keras itu. Out
of the box banget soal-soalnya. Sementara aku tanya yang lain, mereka sudah
belajar soal-soal SIMAK dari jauh-jauh hari, bahkan berbulan-bulan. Waktu itu,
aku memilih jurusan Pendidikan Kedokteran sebagai pilihan pertama dan Biologi
untuk pilihan kedua.
Namun,
akhirnya, di FKUI lah aku lolos dan diterima. Bukan NU, bukan UGM, bukan
manapun. Aku menaruh harapan di UI, cukup ideal. Walaupun dulu agak singkat aku
mengenal UI dan berharap bisa belajar di kampus dengan jas kuning ini.
Tapi,
nggak sampai di situ, perjuangan belum berakhir kawan. Aku masih ditetapkan
sebagai CALON mahasiswa, belum menjadi mahasiswa. Nah, gimana biar bisa resmi
diterima sebagai mahasiswa? Ya, registrasi atau daftar ulang. Nah, di situlah
kendalanya. Sebelum registrasi ulang, mahasiswa harus membayar uang pangkal dan
uang semester I yang totalnya cukup lumayan. Untunglah FKUI menggunakan
mekanisme BOP Berkeadilan dengan syarat mahasiswa harus melampirkan
berkas-berkas yang dibutuhkan, sehingga biaya masuk dapat lebih ringan. Dan
yang bikin aku cukup ngos-ngosan, dateline pengumpulan berkas-berkas itu super
mepet dengan waktu pengumuman lolosnya calon mahasiswa. Jadi, ribet dan
bener-bener kerasa perjuangannya di sini, karena harus melampirkan hal-hal yang
berkaitan dengan keuangan dan perlu berhubungan dengan otoritas tempat kita
tinggal sebagai data resmi.
Karena
mepetnya dateline pengumpulan, akhirnya aku putuskan untuk langsung
mengantarkan berkas-berkas yang dibutuhkan ke kampus UI Pusat di Depok, karena
jika dikirimkan lewat pos atau titipan kilat, sampai di UI-nya bakal kelewat
dateline. Aku beranikan diri ke Depok dengan salah satu saudara, walaupun kita
berdua belum tau dan belum pernah menginjakkan kaki di UI Depok. Namun,
kuasa-Nya lah yang akhirnya memberhasilkan kita sampai di sana. Beberapa hari
kemudian, berkas disetujui dan biaya masuk dapat diringankan.
Satu
minggu kemudian, aku kembali ke depok untuk registrasi ulang dan akhirnya aku
resmi menjadi mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. J
Credit
: Nela Lutfiana
Thursday,
Jan 31, 2013